Tokoh Masyarakat 2

Wow!, sudah lebih dari setahun saya tidak menuangkan isi pikiran dan hati saya ke blog semata wayang ini. Seperti diary, blog ini hanya saya sambangi ketika keresahan muncul pada hari-hari saya. Lebih dari setahun saya menceritakan keresahan saya pada istri tercinta, namun pada kali ini tentu saya memiliki kewajiban untuk menulisnya di blog ini, karena ada sangkut pautnya dengan tulisan saya sebelumnya.

Here we go!

Saya selalu berusaha berbaik sangka kepada tokoh masyarakat di kampung saya, namun seiring berkembangnya volume otak saya, saya menyadari bahwasanya mereka pun tak menghargai kami, kami adalah kaum proletar, kaum akar rumput, orang miskin, wong cilik.. (ya walaupun mereka juga masih tergolong kaum akar rumput tapi mereka sudah punya roda empat semua, dinding beton bukan tripleks atau board, sepeda motor yang tak hanya satu). Lagi-lagi ini masalah kebiasaan orang kapitalis, yang memandang, mendengar dan merespon hanya kepada sesama mereka yang orang kaya. Kepada kami, mereka tak akan merespon, jangankan merespon, mendengar pun mereka tak sudi. 

Dukuh sebagai sesepuh kampung hanya mitos belaka dan kebohongan besar dari masyarakat di kampungku. Dukuh pada kenyataannya hanya sebagai babu atau pembantu yang tak perlu didengar ucapannya, apalagi didukung. Lebih sakitnya lagi orang miskin yang masih muda, seorang ketua RT yang notabene bawahannya pun berani merintah dukuh. Dukuh di kampungku kebetulan orang miskin, nasib baik belum berpihak padanya walaupun Ia menyandang gelar sarjana. Saya rasa Ia overqualified di kampung saya, tak ada yang mengerti apa yang akan Ia jangkau. Cukup.

Kita lanjutkan tentang seorang RT yang berani dan dengan lantang merintah dukuh, dari hal tersebut kita dapat mengetahui bahwa sistem penghormatan warga adalah berdasarkan pada kekayaan. Ide-ide visioner dari dukuh itu ga perlu, yang diperlukan itu ide dari orang kaya di kampung yang ingin mengganti tiang balai yang terbuat dari beton diganti menjadi kayu. Dan lucunya warga setuju dengan ide sampah itu. Jingan haha

Bahkan dukuh di kampungku dianggap sepele, ketika Ia memerintah para ketua RT tak ada yang patuh, kecuali 1 RT. Memang ketua RT tak digaji, tapi Ia kan mendapatkan kepercayaan warganya, dimana harga diri dan martabat Para Ketua RT bila Ia tak mampu menjadi apa yang diharapkan warga padanya?.

Dan saya pernah bilang pada dukuh saya, "kuh, kowe rasah suwe-suwe dadi dukuh, paling suwe 2 tahun. Warga kene iki toxic tenan, ra iso dijak maju, eman-eman masa depanmu, goleko gawean liyo sing iso gawe kowe mulyo, ra koyo saiki keno tekanan seko atasan, keno tekanan seko bawahan".

Melihat kenyataan demikian itulah yang membuat saya paham bahwa kehidupan di desa itu keras. 

(Kantin SMP 2 Karangmojo, 15-08-2024)


Comments

Popular posts from this blog

Tokoh Masyarakat

Telaga Mriwis Putih (Lake Mriwis Putih)

I'm Not Surprised..