Catatan Perang

Ketika pelabuhan bersandar puluhan bahkan ratusan kapal perang, jalan-jalan dipenuhi tank, disekitar rumah berjejer para tentara bersenjata lengkap, dan ketika di kebunmu tertanam artileri. Langit berubah menjadi kelabu berkat kepulan asap dari ledakan, tanah-tanah berlubang berkat mortar-mortar, dan air memerah oleh darah. Bangunan gedung, rumah dan toko hancur seperti di gaza, mobil-mobil tak dipedulikan pemiliknya dan dimana-mana berserak selongsong peluru. Kamu keluar rumah bermodalkan kewaspadaan dan mata yang tak henti mengawasi sekitar, teriakan tentara menghentikan langkahmu dan kamu diintrogasi, kamu disuruh kembali ke dalam rumah dan kamu patuh.


Dengan langkah gemetar seperti tak menapak tanah, kamu memberanikan diri meminta izin kepada para tentara untuk berkunjung ke rumah saudaramu. Dengan tegas tentara itu melarangmu dan memerintahkan kamu untuk kembali ke dalam rumah, dan kamu patuh. Malam pun tiba, salah satu anggota keluargamu yang gadis dipanggil oleh para tentara untuk keluar rumah, mereka berkata padamu "pinjam dulu sebentar, nanti saya antar pulang lagi!", disaat seperti itu kamu hanya diam saja, tak memberikan sedikitpun penolakan?. Kamu membiarkan gadismu dipinjam para tentara?.


Pagi, kamu diperintah untuk memindahkan bebatuan sisa runtuhan bangunan, dengan laras panjang mengarah pada kepala belakangmu, dan kamu patuh. Siangnya kamu diperintah untuk mencari air bersih, karena ada tentara yang hendak buang air besar tapi tidak ada air, dan kamu menurutinya. Mereka menyentak dan mendorong kamu sampai kamu tersungkur karena kamu mencoba tidak menghiraukan permintaan mereka, dan dengan penuh tekanan kamu pun menuruti permintaan mereka, bahkan melihat mata para tentara pun kamu tak mampu. 


Kamu terkurung, terpenjara dalam istanamu sendiri yang dulu kamu banggakan, gadismu sudah hilang entah kemana tanpa ada yang mencarinya karena kamu sendiri pun bahkan menatap mata tentara sudah tak mampu. 


Jadi dimana dongakan kepalamu ketika perang belum pecah?, dimana tatapan intimidasimu?, dimana ketawa finansial stabilmu?, dimana rayuanmu yang sering kamu gunakan untuk merayu orang-orang lemah?, dimana telunjukmu yang selalu digunakan untuk mengatur orang lain?, dimana keberanianmu untuk bicara?, dimana keberanianmu untuk duduk tegap dihadapan manusia?.


Dimasa perang kamu tidak lebih baik dari seorang pecundang. Lebih rela bernafas daripada anggota keluarganya aman, lebih rela ditindas yang penting bernafas. 


Kalau saya yang jadi tentaranya, saya potong-potong kamu.


Tundukkan kepalamu agar tak terlalu terlihat kepecundanganmu karena perang kapan saja bisa pecah.

Comments

Popular posts from this blog

Tokoh Masyarakat

Telaga Mriwis Putih (Lake Mriwis Putih)

I'm Not Surprised..