CONTOH ISI MAKALAH PELAYUAN DAGING
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Daging merupakan salah satu jenis
hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai
bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani dengan kandungan gizi yang
cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani lainnya seperti, susu,
telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat proses mikrobiologis,
kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan baik. Dengan demikian dalam proses
pemotongan sampai pengolahan perlu diperhatikan supaya menghasilkan daging yang
berkualitas.
Otot semasa hidup ternak merupakan
alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga
disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan
tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak
disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu
tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah
terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Proses biokimia yang berlangsung
sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya
merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan
dihasilkan pasca rigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya
rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan
daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft
exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau
rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Umur, jenis, bangsa, dan keadaan
ternak yang dipotong juga tidak seragam. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh
terhadap kualitas daging khususnya keempukan daging yang dikonsumsi masyarakat.
Keempukan daging postmortem dapat ditingkatkan dengan berbagai cara seperti
penambahan enzim proteolitik, stimulasi listrik, dan aging atau pelayuan.
Pelayuan dengan suhu rendah selain
dapat meningkatkan keempukan, juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
selama daging dilayukan. Faktor yang menentukan keempukan akibat pelayuan
adalah fungsi dari waktu dan suhu. Pelayuan daging dengan suhu yang lebih
tinggi memerlukan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pelayuan menggunakan
suhu rendah. Pelayuan dengan suhu rendah menghasilkan keempukan yang lebih
merata dibandingkan dengan temperatur tinggi. Pelayuan dengan suhu rendah,
seperti pada suhu 40C menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi
pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor
mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada
penanganan pascapanen ternak. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging
jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses
pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan
mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.
Dalam pembuatan makalah ini kami
akan membahas tentang bagaimana proses rigor mortis dan bagaimana cara terhadap
proses rigor mortis paska pemotongan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka masalah yang akan di bahas dalam makalah ini dapat
dikelompokkan menjadi:
1.
Bagaimana proses rigor mortis itu terjadi pada
ternak-ternak paska pemotongan ?
2.
Bagaimana
Proses Pelayuan daging ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui proses-proses dalam rigor mortis.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
proses rigor mortis.
3.
Mengetahui proses pelayuan daging.
4.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Teknologi Hasil
Ternak
BAB II
ISI
A. Daging
Daging
merupakan hasil konversi otot setelah ternak dipotong, daging juga merupakan
komponen utama karkas. Beberapa definisi tentang daging diantaranya adalah
sebagai berikut: Menurut Tien dan Sugiono (1992), daging didefinisikan sebagai
urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian
bibir, hidung dan telinga, yang beflavourl dari hewan yang sehat sewaktu
dipotong. Menurut Herman Tabrany (2001), daging adalah serabut otot yang
dilekatkan bersama oleh jaringan ikat dan diselingi dengan serabut syaraf dan
pembuluh darah. Menurut SNI No. 01-3948-1995 tentang daging domba,
mendefinisikan daging kambing/domba adalah urat daging yang melekat pada
kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang
beflavourl dari kambing/domba yang sehat waktu dipotong. Menurut “Food and Drug Administration”, daging
merupakan bagian tubuh yang beflavour dari ternak sapi, babi, atau domba yang
dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk diopotong, tetapi hanya terbatas pada
bagian muskulus yang berserat, yaitu yang beflavourl dari muskulus skeletal
atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk bibir, moncong,
telinga, dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari
tulang, urat, urat syaraf, dan pembuluh-pembuluh darah.
Daging
tersusun dari otot, jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan syaraf,
pembuluh darah dan lemak, jadi otot berbeda dengan daging. Otot merupakan
komponen utama penyusun daging. Otot yang berhubungan dengan tulang atau otot
skeletal merupakan sumber utama dari penyusun daging (Soeparno, 2005).
Komposisi gizi daging bervariasi pada bangsa, spesies ternak, dan potongan
daging. Secara luas daging mengandung air 75%, protein 19%, lipid 2,5%,
karbohidrat 1,2%, substansi non protein yang terlarut 3,5%, dan vitamin yang
larut dalam air dan lemak dalam jumlah sedikit (Lawrie, 2003).
Daging
mengandung protein dengan asam amino lengkap dan seimbang. Asam amino essensial
yang terdapat di dalam daging terdiri dari isoleusin, leusin, lisin, metionin,
sistin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, arginin, dan histidin. Asam
amino non essensial yang terdapat di dalam daging terdiri dari alanin, asam
aspartat, asam glutamat, glisin, prolin, serin, dan tirosin. Daging sapi
mengandung leusin, lisin dan valin yang lebih tinggi dibandingkan daging babi
dan anak domba, tetapi mengandung treonin yang lebih rendah daripada daging
babi dan anak domba (Lawrie, 2003).
Menurut
Soeparno (2005), daging berdasarkan keadaan fisiknya dikelompokkan menjadi:
1.
Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan,
2.
Daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan
(daging dingin),
3.
Daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian
dibekukan (daging beku),
4.
Daging masak,
5.
Daging asap, dan
6.
Daging olahan.
Komponen utama daging terdiri dari otot, lemak (marbling), sejumlah
jaringan ikat (kolagen, elastin dan retikulin), serta pembuluh darah, epithel dan
syaraf. Otot terdiri dari beberapa berkas otot (muscle bundle), berkas otot
berisi serat otot (muscle fiber) yang merupakan sel otot berupa benang panjang,
tidak bercabang dan sedikit meruncing pada kedua ujungnya. Serat otot berisi
benang otot (miofibril), sedangkan miofibril terdiri dari beberapa sarkomer.
Dalam sarkomer terdapat filamen-filamen halus (miofilamen) yang tebal dan
tipis. Filamen yang tebal disebut miosin dan yang tipis disebut aktin
(Soeparno, 2005).
B. Konversi Otot
Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi
otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan
(Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan
hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus,
trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis)
dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK
Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat
kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan
mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber- hentinya
sirkulasi darah, yang mengakibatkan
tidak adanya pasokan (supply) ok- sigen ke jaringan, sehingga
menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et
al. 2007).
Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan
persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun
dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi
dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali
ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan
tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot
menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 2003;
Swatland 1984).
Dalam
kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu
baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan
alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu
dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut
dinamakan proses aging (pelayuan).
Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor
yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan
peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor) daging. Pada proses ini
juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada
daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada
temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi
perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al.
2007).
C.
Proses
Pelayuan Daging
Hewan
yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi
perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah
digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis. Dalam kondisi
rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru
dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot
dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan
untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses
aging (pelayuan).
Pelayuan
adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung
atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging
(-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging yang telah
mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu
menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air,
bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Daging
biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan
dari pelayuan daging adalah:
1.
Agar
proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga
pertumbuhan bakteri akan terhambat,
2.
Pengeluaran
darah menjadi lebih sempurna,
3.
lapisan
luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar
dapat ditahan,
4.
untuk
memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas.
Karkas
sapi biasanya dilayukan dalam waktu sekitar 2X24 jam. Untuk memperoleh daging
yang memiliki keempukan optimum dan cita rasa yang khas, pelayuan dilakukan
pada suhu yang lebih tinggi atau dengan waktu yang lebih lama, misalnya suhu
3-40C selama 7-8 hari atau suhu 200C selama 40 jam. Bisa juga dilakukan pada
suhu 430C selama 24 jam. (Anonimus, 2011)
Selama
pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging.
Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki
flavor yang lebih kuat. Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau
setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang dapat
diinfeksi oleh mikroba. Untuk menghambat pertumbuhan mikroba, proses pelayuan
dibantu dengan sinar ultraviolet.
Daging
akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan hal ini karena selama proses
pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstra seluler
sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yg lebih empuk, lebih
basah dan flavour lebih baik.
Fungsi
pengempukan daging dengan pelayuan merupakan fungsi dari waktu dan temperatur.
Pada temperatur yang tinggi akan menghasilkan tingkat keempukan tertentu dalam
waktu yang lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Keempukan juga
dapat ditingkatkan dengan perlakuan pendinginan, perlakuan enzim dan perebusan.
Setelah
ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur miofibril
dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril
dapat meningkatkan keempukan daging. Denaturasi protein pada pelayuan terjadi
karena pH yang rendah, temperatur diatas 25oC atau dibawah 0oC,
adanya desikasi. Pada pelayuan protein miofibril dan sarkoplasma mengalami
denaturasi sedangkan kolagen dan elastin tidak terdenaturasi. Denaturasi protein
akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga daging akan mengalami
kehilangan cairan daging atau weep.
Titik
minimum daya ikat air pada pH 5,4-5,5. Pelayuan dapat menurunkan daya putus WB
(Warner Blatzler), sehingga dapat meningkatkan keempukan d aging, nilai daya
putus WB merupakan indeks tingkat kealotan miofibrilar dari daging.
Pelayuan
dapat meningkatkan DIA dan menurunkan susut masak. DIA dan susut masak
mempunyai hubungan berbanding terbalik. Bila DIA tinggi, maka susut masak akan
rendah. Sebaliknya, bila DIA rendah, maka susut masak akan tinggi. Menurut
Soeparno (2005), peningkatan DIA selama pelayuan disebabkan oleh adanya
perubahan hubungan antara protein dan air, yaitu peningkatan muatan melalui
absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau karena melemahnya ikatan miofibril
(aktin dan miosin). Menurut Forrest (1975), semakin rendah suhu pelayuan maka
akan terjadi pertukaran ion Ca++ dan Mg++ sehingga akan terjadi pengikatan air
oleh protein lebih banyak karena adanya faktor ”Steric Effect”. Sebaliknya,
penyimpanan yang terlalu lama juga akan menurunkan DIA dan terjadinya perubahan
struktur protein daging. (Soeparno, 2005).
Walaupun
pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air tetapi sangat dipengaruhi oleh pH dan
pada akhirnya daging kehilangan cairannya. Pelayuan pada temperatur (0 – 1)oC
selama 21 hari dapat meningkatkan daya ikat air dan keempukan daging sapi serta
menurunkan susut masak (cooking loss) dan penyusutan daging. (Nurul,2012)
Pelayuan
terjadi akibat kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak dipotong
yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan otot. Daging akan berubah
menjadi empuk apabila dilayukan, karena selama pelayuan terjadi
perubahanperubahan pada protein intra dan ekstraseluler. Sehingga proses autolisis
pada daging menghasilkan daging yang lebih empuk, lebih basah dan flavour yang
lebih baik (Herman Tabrany, 2001).
Pelayuan
dibagi menjadi dua tipe, yaitu pelayuan pada suhu rendah atau cooler
conditioning pada kisaran suhu 0-5 0C, dan pelayuan suhu tinggi atau high
temperature conditioning pada kisaran suhu 15-400C (Dutson dan Pearson, 1985).
Menurut Soeparno (2005), pada prinsipnya pelayuan suhu rendah atau suhu tinggi
berpengaruh terhadap mempercepat atau memperlambatnya laju penurunan pH.
Pelayuan dengan suhu rendah dapat memperlambat laju penurunan pH, sedangkan
pelayuan dengan suhu lebih tinggi dapat mempercepat laju penurunan pH. Pengaruh
pelayuan terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh
langsung dari suhu terhadap laju glikolisis postmortem. Glikolisis meliputi
perubahan-perubahan bertahap didalam konversi glukosa dan glikogen menjadi
piruvat atau asam laktat yang melibatkan banyak senyawa. Proses glikolisis
melibatkan banyak reaksi dan enzim yang mengkatalisis reaksi.
Pelayuan
dapat meningkatkan palatabilitas daging karena timbulnya aroma atau flavour
khas daging. Menurut Lawrie, (2003), pemecahan protein dan lemak selama
pelayuan mempunyai sumbangan dalam citaflavour dengan membentuk hidrogen
sulfida, amonia, asetaldehid, aseton, dan diasetil. Selama pelayuan akan
terjadi proses glikolisis sehingga pada pH 5,5 aktivitas enzim proteolitik
(katepsin) mendegradasi membran sarkolema dan miofibril sehingga menyebabkan
daging empuk. pH daging yang optimal (5,5) berpengaruh positif terhadap warna,
aroma, dan citaflavour daging. Selain itu enzim proteolitik (katepsin pada pH
5,5 dapat melonggarkan struktur daging sehingga daya mengikat air meningkat
(Forrest dkk, 1975).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli memperlihatkan
bahwa pelayuan berpengaruh terhadap pH, WHC, keempukan, flavor, dan juiceness.
Hal ini sesuai dengan teori yang sudah dikemukakan bahwa pelayuan menyebabkan
penurunan pH sebagai akibat dari proses glikolisis yang melibatkan banyak
reaksi dan enzim yang mengkatalisis reaksi sehingga dihasilkan asam laktat
sampai dengan tercapainya pH ultimat. Peningkatan WHC selama pelayuan
disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara protein dan air, yaitu
peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau karena
melemahnya ikatan miofibril (aktin dan miosin).
Menurut Forrest (1975), semakin rendah suhu pelayuan maka
akan terjadi pertukaran ion Ca++ dan Mg++ sehingga akan terjadi pengikatan air
oleh protein lebih banyak karena adanya faktor ”Steric Effect”.
Menurut Lawrie, (2003), pemecahan protein dan lemak
selama pelayuan mempunyai sumbangan dalam cita flavour dengan membentuk
hidrogen sulfida, amonia, asetaldehid, aseton, dan diasetil. Selama pelayuan
akan terjadi proses glikolisis sehingga pada pH 5,5 aktivitas enzim proteolitik
(katepsin) mendegradasi membran sarkolema dan miofibril sehingga menyebabkan
daging empuk. pH daging yang optimal (5,5) berpengaruh positif terhadap warna,
aroma, dan citaflavour daging. Selain itu enzim proteolitik (katepsin pada pH
5,5 dapat melonggarkan struktur daging sehingga daya mengikat air meningkat
(Forrest dkk, 1975).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2011. Pelayuan
Daging. http://karanhtengahraharjo.blogspot.co.id/2011/10/pelayuan-daging.html (diakses
pada 21 Maret 2018)
Forrest, dkk. 1975. Principles of Meat Science. Fourth Edition.
W.H. Freeman and Company. San Francisco, United States of America.
Herman Tabrany. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan
Daging. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Jajang, G. 2011. Pengaruh Pelayuan Daging Yang Berasal Dari
Bangsa, Sex dan Musim Pemotongan Berbeda Tehadap Kualitas Daging.
Universitas Padjajaran. Bandung
Lawrie. 2003. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. Universitas
Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Lukman,
D. W. A. W. Sanjaya, M. Sudarwanto, R. R. Soejoedono,T. Purnawarman, H. Latif. 2007. Higienis Pangan. Fakultas
Kedokteran Hewan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurul
Lasmini. 2012. Pelayuan Daging. https://nurullasmini.wordpress.com/2012/02/08/44/
(diakses pada 21 Maret 2018)
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Tien
dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium
Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU IPB dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Comments
Post a Comment