Tutur Ambyar (ditulis saat high highnya)
Perpisahan memang biasa terjadi, namun ketidaktahuan kita terhadap pertemuan kembali yang sering membuat kita sedih.
Aku adalah pemuda yang berkuliah di kotaku sendiri. Sebagian temanku adalah pemuda dan pemudi dari kota lain yang menimba ilmu di kotaku. Perasaan saat pertama bertemu memang tidak lebih menyenangkan dari masa SMA. Tapi aku merasakan ada sebuah rintangan yang harus ditaklukkan di depanku, yaitu kuliah, bersama mereka. Hal yang paling kukhawatirkan adalah kalau sampai aku lulus paling akhir, betapa kesepiannya hari-hariku tanpa mereka. Bagaimana tidak, ditinggal teman-temanku untuk berlibur dikampung masing-masing pun aku bersedih, teringat kenangan bersama yang itu, itu, itu, dan itu.
Dalam perjalanan kami menembus padang rumput dengan permainan licik di dalamnya, beberapa teman kami mengambil keputusan untuk menantang rasi bintang, keluar dari permainan, dan menebas rumput-rumput yang menghalanginya berjalan. Mereka berakselerasi cepat, tegas, dan beringas. Sebenarnya aku juga ingin menyudahi permainan ini, karena melihat hijauan yang terhampar luas rasanya ingin memanennya untuk pakan kambing. Pada kenyataannya aku tidak seberani beberapa temanku, para penantang itu.
Diantara penantang itu, ada yang memutuskan untuk menjadi buruh sawit, peternak ayam kampung super, peternak sapi, gamers, blantik, dan masih banyak lagi. Rasanya tidak adil jika tidak bercerita tentang beberapa mafia di dalam permainan ini, beberapa temanku mengambil keuntungan dari permainan ini dan masih juga menantang. Mereka ku juluki sebagai mafia. Sebab mereka tidak dengan jelas menunjukkan bahwa mereka pekerja, tetapi uang mengalir terus, aku bisa dibilang golongan ini.
Tapi itu tidak penting, jadi apapun tak jadi masalah. Yang terpenting adalah Migunani Tumraping Liyan (berguna untuk yang lainnya).
Kembali kepada para penantang, mereka sudah lepas dari sabana itu, kini mereka berlomba mendaki gunung. Untuk para penantang, berhati-hatilah, jangan mudah menyerah, gassss sekencangnya sampai Tuhan tak berkenan. Hal yang kudapat dari para penantang itu, kegelisahannya setiap saat, sorot matanya yang berusaha mengubah garis tangan, dan geraknya yang wagu dan kaku, tapi mereka berani. Berani menantang rasi bintang, dan mengubah garis tangan. Pancal!!!
Jujur saja, setelah kepergian mereka aku merasa gagal menjadi seorang lelaki. Aku masih asyik dengan permainan dan terkadang aku juga menyibukkan diriku dengan hiburan-hiburan yang kurasa tidak begitu menyenangkan. But, I get money from it, bakulan manuk 😂
Merekalah teman-teman kuliahku, berbagai macam golongan, suku, agama, dan sifat. Satu lagi yang harus aku ceritakan, yaitu tentang sesepuh kampus yang lumayan lah memberiku angin segar untuk terus menapaki jejak kehidupan.
Alumni, yang masih menjadi pengangguran itu pernah berkata "timeline setiap orang beda-beda, ada yang lulus langsung kaya, ada yang nganggur dulu kaya aku ini.. kuncinya untuk tetap semangat adalah jangan membandingkan dirimu dengan orang lain".
Hari ini beliau pergi meninggalkanku, Ia telah menemukan pekerjaan yang menyenangkan baginya. Dan itulah, apa yang Ia katakan terjadi. Tapi aku benar-benar merasa kehilangan, walaupun kami bisa bertemu lagi kalau masih hidup. Btw Kami memiliki kalimat sisipan saat berkata tentang rencana masa depan yaitu "kalau masih hidup". Sebab kita tidak tau juga kapan mati, ya ga?.
Tentang mantan, biarlah ia bahagia dengan temanku, tentang temanku biarlah ia bahagia dengan keadaannya, tentang keadaan biarlah keadaan yang memberi mereka pengalaman, tentang pengalaman adalah guru besar kita semua.
Untuk teman-temanku, kita tidak tahu kapan kita mati, anggap saja ini surat perpisahan kita. Terimakasih.
Speechless
ReplyDelete