Wow!, sudah lebih dari setahun saya tidak menuangkan isi pikiran dan hati saya ke blog semata wayang ini. Seperti diary, blog ini hanya saya sambangi ketika keresahan muncul pada hari-hari saya. Lebih dari setahun saya menceritakan keresahan saya pada istri tercinta, namun pada kali ini tentu saya memiliki kewajiban untuk menulisnya di blog ini, karena ada sangkut pautnya dengan tulisan saya sebelumnya. Here we go! Saya selalu berusaha berbaik sangka kepada tokoh masyarakat di kampung saya, namun seiring berkembangnya volume otak saya, saya menyadari bahwasanya mereka pun tak menghargai kami, kami adalah kaum proletar, kaum akar rumput, orang miskin, wong cilik.. ( ya walaupun mereka juga masih tergolong kaum akar rumput tapi mereka sudah punya roda empat semua, dinding beton bukan tripleks atau board, sepeda motor yang tak hanya satu). Lagi-lagi ini masalah kebiasaan orang kapitalis, yang memandang, mendengar dan merespon hanya kepada sesama mereka yang orang kaya. Kepada kami, mereka...
Lebih dari 5 tahun lalu saya menulis tentang tokoh masyarakat, kalau tidak salah di blog ini juga. Tulisan saya itu berisi tentang kebijaksanaan atau wisdom seorang tokoh masyarakat di kampung saya. Saya mengatakan bahwa mereka hanya mengikuti usulan orang kaya saja, dan usulan orang miskin hanya dijadikan sebagai angin lalu. Kini, saya menjadi tokoh masyarakat. Karena kerangka berpikir saya adalah sosialis maka saya mendengarkan semua usulan warga, tidak cuma yang kaya tapi yang miskin juga. Seperti, ada seorang petani miskin mengusulkan untuk mengukur pH tanah pertanian, bagi saya ini usulan yang brilian, maka saya wujudkan dengan pengadaan pH meter tanah. Dan itu memang terjadi. Namun kita tidak akan berbicara soal kapitalisme dan sosialisme. Kita akan berbicara soal wisdom. Selayaknya tokoh masyarakat kami dituntut untuk bijaksana dalam hal apapun. Bijaksana sebenarnya tidak bisa dibuat-buat, bijaksana adalah anugerah dari Allah SWT. Namun saya rasa bisa dipelajari dan dilatih. Se...
Ketika pelabuhan bersandar puluhan bahkan ratusan kapal perang, jalan-jalan dipenuhi tank, disekitar rumah berjejer para tentara bersenjata lengkap, dan ketika di kebunmu tertanam artileri. Langit berubah menjadi kelabu berkat kepulan asap dari ledakan, tanah-tanah berlubang berkat mortar-mortar, dan air memerah oleh darah. Bangunan gedung, rumah dan toko hancur seperti di gaza, mobil-mobil tak dipedulikan pemiliknya dan dimana-mana berserak selongsong peluru. Kamu keluar rumah bermodalkan kewaspadaan dan mata yang tak henti mengawasi sekitar, teriakan tentara menghentikan langkahmu dan kamu diintrogasi, kamu disuruh kembali ke dalam rumah dan kamu patuh. Dengan langkah gemetar seperti tak menapak tanah, kamu memberanikan diri meminta izin kepada para tentara untuk berkunjung ke rumah saudaramu. Dengan tegas tentara itu melarangmu dan memerintahkan kamu untuk kembali ke dalam rumah, dan kamu patuh. Malam pun tiba, salah satu anggota keluargamu yang gadis dipanggil oleh para tentara unt...
Comments
Post a Comment